R: "Ada apa dengan Jogja?"
A: "Entahlah"
R: "Aku merasa Jogja dan kamu itu seperti tangan yang tergenggam erat"
R: "Ada proyek disana?"
A: "Nggak"
R: "Banyak orang2 kamu disana?"
A: "Gak punya temen"
R: "Di kota mana drama trauma dan healing kamu terbanyak?"
2010 Jogja merupaka tempat kaburku, tanpa teman, taman sanak saudara, tanpa kenal siapapun disana, aku selalu kabur dari segala ketidaknyamanan ke kota itu sendiri. 2016 aku kembali kesana, isolasi diri dari siapapun termasuk kurir makanan, dan menulis tiap harinya. Beberapa bulan kemudian di tahun itu, aku kembali lagi setelah mengalami suatu kejadian, dimana hari pertama tidur selama 22 jam. Rasanya asing sekali bisa tidur selama itu. 2020 kembali kesana membereskan sesuatu, 2021 kembali kesana ada yang beres sekaligus membuatku mati dan dari situ perubahan besar terjadi dengan cepat. 2022 kembali kesana dan banyak yang terjadi, pain, suffering, drama, healing.
Ada apa dengan Jogja?
Rasanya seperti ada apa dengan Flores yang membuatku seperti kembali ke rumah, merasakan bahagia, hingga isak tangis dalam sesak selalu terjadi setiap meninggalkan Flores. Tapi tidak dengan Jogja, aku tak pernah sedih setiap meninggalkan Jogja. Yang aku sadari, Jogja setahun kemarin seperti roller coasteer yang tak pernah berhenti, segala yang hadir, singgah, ataupun hanya lewat memberikan kesan tersendiri bahkan goresan luka yang aku tak ingin melihatnya lagi ataupun sekedar mengingatnya. Dan di kota itu pula, aku merasakan cinta yang entah datang dari mana, selalu ada saja kasih yang hadir dan menyembuhkan dalam kesendirian hening tanpa siapapun yang dikenal.
No comments:
Post a Comment