Pernah berada dan hidup penuh dogma norma puluhan tahun.
Ibu menuntut anak harus ini itu, gw sebagai anak balik nuntut ortu harus blabla.
Hidup dalam utopian tak berani hadapi realita.
Ortu menentukan standard anak perempuan harus bisa beres-beres, anak perempuan harus ini itu, saat anak perempuannya gak suka beres-beres maka di generalisisr gagal dan gak bagus. Tanpa melihat kelebihan-kelebihan lainnya. Alhasil fokus pada kelemahan bukan mengembangkan potensi.
Anak kembali menentukan standard terhadap orang tua. Orang tua harus pinter, harus bijaksana, ayah harus menafkahi, ibu harus perhatian, keharusan keharusan lainnya. Hingga sulit menerima kalau mereka manusia biasa bahkan penuh unresolved issue.
Hidup dalam aturan sosial yang belum tentu baik, cocok, dan tepat untuk diri dan keluarga. Sibuk mengejar standard luar dengan mengabaikan kebahagian diri dan keluarga. Hidup dalam norma penuh dogmatif. Entah apa yang dikejar.
Hingga suatu waktu, Tuhan kasih jalan untuk membereskannya. Diseimbangkanlah masalah tersebut dan mulai mampu mencintai diri secara murni. Keluarga pun ikut diseimbangkan. Setelah itu, kerasa, tidak saling menuntut, mampu menerima satu sama lain, menghargai autonomy masing-masing, sikap manipulatif atas obsesif kompulsif satu sama lain menghilang. Lebih tenang aja hidup. Lebih secure, lebih pede, lebih baik thdp diri sendiri.
No comments:
Post a Comment