Stasiun padat berisi, hilir mudik orang memenuhi ruang dengan gema pengeras suara bercapur teriakan manusia satu sama lain memanggil dan mencari.
Aku duduk dalam diam memperhatiakn orang yang berlalu lalang, mencari seorang sosok temannya teman yang akan pergi bersama. Tiba-tiba ada mata yang saling bertemu, ada perasaan sepertinya ini orang yang dicari, ternyata benar. Namanya Vilda, teman satu kampusnya Ratih. Ratih adalah seorang yang mengantikan ku di kantor setelah resign.
Kami bertiga masuk ke dalam kereta. kereta bisnis yang seperti kereta ekonomi. Dengkul saling bertabrakan antar penumpang di depan. 8 jam berlalu, sampai di sebuah stasiun pagi buta dengan udara dingin nan lembab. Kota yang terkenal dengan makanan gudeg nya. Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah bude nya Ratih.
Sampai rumah, kami bebersih, lalu bersiap tidur mengganti waktu tidur yang hilang sepanjang perjalanan yang habis dipakai mendengarkan seorang bapak di depan kami bercerita panjang dan menahan rasa tak nyaman badan duduk berjam-jam.
Mata baru terpenjam, alarm telepon genggam milik Vilda berbunyi. Aku yang sangat lelah dan baru hampir tertidur mendadak kesal, satu bantal terlempar keras menuju Vilda oleh tanganku. Vilda dengan gesit mematikan alarmnya. Lalu kami bertiga tidur.
Bangun tidur, bersiap-siap untuk jalan-jalan. Vilda tak membahas soal bantal melayang dengan kasar atas perbuatanku. Kami tak membahas dan tak mempermasalahkan. Lalu teringat, jika kejadian itu terjadi pada orang lain, mungkin orang akan marah, akan membalas, akan bermusuhan, namun tidak dengan Vilda. Ia menerima dan bertoleransi terhadap sikapku yang memang tidak baik. Disitu ada sebuah penerimaan, penerimaan terhadap keburukan orang lain, penerimaan terhadap keadaan seseorang, sebuah toleransi dan empati.