Sebuah ruang penuh manula menunggu giliran terapi dan dokter. Ada sebuah ruangan kecil di dalam ruangan itu, ruangan orang berkonsultasi dan diperiksa.
Pintu ruangan terbuja dengan teriakan sang dokter memanggil pasiennya.
Masuklah si Baba.
Baru membuka pintu, sang dokter penuh senyum dengan posisi duduk condong ke depan berkata “kenapa?” Dengan suara halus penuh kasih bagaikan seorang ayah yang menanyakan “kenapa” ketika anaknya nangis habis jatuh dari sepedah.
Baba sadar apa yang dimaksud oleh dokternya. Ia sadar sang dokter bertanya tentang perasaanya, perasaan sedih yang ia ceritakan sebulan yg lalu lewat pesan tertulis. Ia mendadak sedih, ingin menangis. Sedih karena selama ini tak pernah dapat kasih sayang dan empati orang tua seperti itu. Namun, Baba menahan perasaannya, mengendalikan ekspresi wajahnya. Dan berkata “ini dok kaki saya sakit-sakit lagi”.
Sang dokter kembali berbicara “kemarin teman saya menelepon, katanya sedang sedih. Saya tanya kenapa, dia tak menjawab”.
Lalu Baba kembali menarik pembicaraan pada sakit kakinya “dok, ini sakitnya dari pinggang”.
Sang dokter tak mengubris, kembali bercerita “teman saya itu punya trauma dari sd, sudah 35 tahun traumanya masih dibawa-bawa.”
“Dok, saya tidak diperiksa?” Ungkap Baba.
Sang dokter pun berhenti sekejap lalu berkata “ya boleh deh”.
Lalu baba diperiksa. Setelah itu kembali duduk, sang dokter pun kembali bercerita. Namun keadaan semakin emosional. Baba memutuskan untuk cepat pergi dari ruangan tersebut sebelum air matanya tumpah. Dokternya paham, dan berkata “kamu kalau ada apa-apa, chat saya aja” sambil ikut meninggalkan ruangan tersebut.
Semakin sedih lah hati Baba. Sudah dapat empati dengan pertanyaan “kenapa”, sudah dapat insight dari cerita dokter tentang temannya, ditawari kasih sayang juga. Dan kesedihan semakin mendalam ketika ia menyadari bahwa ia mendapat kasih sayang justru dari orang lain, orang yang dikenalnya di rumah sakit, tak ada hubungan darah, tak ada urusan personal apapun. Dikala ia tak pernah dapat empati tersebut dari orang tua nya sendiri, orang pertama yang ia temui saat lahir di dunia, orang yang ada hubungan darah.
Sepanjang perjalanan pulang, Baba nangis. Padahal dokternya biasa saja, baik terhadap pasien, senang menolong. Namun untuk keadaan Baba, itu menjadi hal yang tak biasa, terlalu intense dan emosional.
——
Semesta memang adil.
Selalu memberikan kebaikan.
Hanya kadang justru diri yang tak siap menerima kebaikan itu, entah karena merasa tak pantas, tak berharga, tak mampu, terbayang-bayang kata-kata negatif orang tua abusif “kalau keluarga tak mampu menerimamu, apalagi orang lain”.
Padahal kenyataannya, banyak orang yang sayang pada dirinya, banyak orang yang mau menerimanya, banyak orang yang peduli.
——
Untuk siapapun yang merasa kamu tak pantas dicintai, tak pantas disayang, tak ada yang mau menerima, berhentilah percaya itu semua.
Kamu pantas disayang, dicintai, dan diterima.
Jika tak dapat dari orang tua dan keluarga, semesta luas sekali, akan banyak tempat dan manusia yang bisa cocok dan sayang padamu.
No comments:
Post a Comment