Suami tukang selingkuh dan ngutang. Istri bertahan berharap suaminya akan berubah. Realitanya terjadi berulang dan makin memburuk. Dan istri tetap bertahan dengan harapan suatu kelak suaminya berubah. Hingga kerja keras menggumpulkan uang, membawa pergi haji dengan harapan pulang membawa perubahan pada suaminya.
Lalu, suaminya berubah?
Tidak.
Tetap hobby main, hobby ngutang, hobby foya2.
Istri tak berhenti berusaha, terus berdoa dan berharap suaminya berubah. Dengan segala banyak penyangkalan suaminya buruk, dengan segala banyak pembenaran untuk bertahan, dengan segala citra keluarga baik yang terus di tampilkan di depan publik.
Tanpa sadar puluhan tahun telah lewat, ia terjebak pikiran dan khayalannya sendiri untuk merubah suaminya hingga lupa untuk merawat anaknya dengan baik, bahkan menanamkan segala sifat delusi dan kondependesi terhadap anaknya. Anaknya menjadi seperti dirinya. Dan pola berulang.
Berakhir sia2. Berharap manusia berubah dikala yang bermasalahnya pun tak sadar dirinya bermasalah ataupun mau berubah.
——
Lalu memperjuangkan keluarga besarnya bagaiman dewa. Semua yang susah dibantu seolah-olah tanggung jawabnya. Empati terhadap keluarga besarnya tinggi sekali karena merasa ia sudah hidup puluhan tahun bersamanya. Sedangkan terhadap anaknya, acuh, tak ada empati, ataupun hubungan mendalam hati ke hati. Karena merasa “siapa kamu? Kamu gak lebih lama kenal dengan saya dibanding keluarga besar saya”.
Ibunya menelepon kesepian di kampung, langsung di datangi, meninggalkan anaknya yang sedang sakit sendirian.
Keluarganya lagi susah, di tolong, dikasihani, anaknya sedang berjuang keras dan kasepian diabaikan.
Hingga akhirnya ia melihat bahwa keluarganya hanya memanfaatkan, bahwa keluarganya hanya peduli dengan keluarga inti masing-masing, kalau keluarganya tak sebaik setulus imajinasinya, kalau keluarganya tidak seberusaha keras menjaga hubungan dan menolong seperti yang ia sering lakukan, bahwa hubunganya tak seimbang antar dua pihak. Dan penyangkalan pun terjadi, tak mampu melihat realita, tenggelam dalam kesedihan dan imajinasi kebaikan keluarganya yang biasa aja namun diagungkan.
———
Sebagai manusia, perlu belajar melihat sesuatu sebagaimana sesuatu itu secara nyata, tak dibumbui harapan ataupun ilusi. Ada kalanya perlu diperjuangkan, ada kalanya tau kapan harus berhenti. Berhenti demi kehidupan yang lebih baik. Memperjuangkan orang yang tak mau berjuang hingga merusak banyak jiwa lain yang patutu diperjuangkan itu sebuah penganiayan, alangkah tidak bijaknya.
Disini butuh batas. Batas kapan merasa cukup untuk mengakhiri sebuah hubungan beracun. Setelah 3x di selingkuhi kah? Setelah 3x rumah di gadai suami tanpa izin hanya untuk foya2 kah? Setelah 3x dipukul kasar kah?
Batas.
Sebuah upaya untuk menjaga diri tetap waras. Sebua upaya untuk menghargai diri sendiri.
Sebuah upaya untuk menciptakan hubungan yanh sehat.
Manusia tidak bisa menyenangkan semua manusia. Ada kalanya dibenci, ada kalanya di tidak sukai, ada kalanya di caci, biasa saja. Selama tidak merusak orang lain dna merusak diri sendiri. Orang mau sepakat/tidak, senang/tidak, ya tak apa.
——
Selama diri tau diri seperti apa, apa yang dimau, apa yang dikejar, apa yang dikerjakan. Yausudahlah orang mau berbicara apa.
Nilai diri tak ditentukan oleh komentar orang, karena diri dibenci di suatu tempat, bisa jadi di tempat lain malah disayang banyak orang.
——
Seandainya kamu tahu seberapa rusaknya kamu, seberapa banyaknya luka batinmu, seberapa banyaknya issue masa lalu yg tak terselesaikan, seberapa besarnya kamu merusak hidup anakmu lewat kurangnya perhatian, empati, menghancurkan kepercayaan diri, keberhargaan diri, dan menanamkan perasaan tak pantas dicintai hanya dengan sibuk mengurusi orang lain hingga kurang memenuhi kebutuhan emosi anak dan menanamkan kata-kata baik hingga anak tumbuh dalam perasaan kosong, tak berharga, tak mampu, hingga dihinggapi banyak penyakit mental merusak jiwa dan pikirannyaa hingga rusak masa depannya dikala potensinya luas biasa. Mungkin mati pun tak akan menghilangkan rasa bersalahmu.
——
Dan saat anaknya sadar apa yang terjadi, ingin berusaha menjadi normal dan hiduo bahagia. Biarkan. Berhenti menanamkan rasa bersalah, berhenti bermain peran sebagai korban, berhenti menjadi manusia paling menderita dengan mengngkapkan segala perjuangan dan harapan imbalan yang tak sesuai imajinasi, berhenti menularkan sakit jiwamu. Jadikan sebagai bahan renungan. Renungan untuk menjadi manusia yang terus belajar menjadi baik.
Jika tak mampu memperbaiki, maka jarak hal terbaik yang dapat dilakukan. Demi memutus rantai dan pola beracun.
No comments:
Post a Comment