Kita tak bisa memilih terbentuk dari sperma siapa, dalam keadaan seperti apa, mau dilahirkan dari rahim siapa, punya ayah ibu biologis seperti apa (sehat secara fisik kah? sehat secara mental kah? sehat secara psikis kah? sehat secara spiritual kah?).
Anak.
tak minta dibuat,
tak minta dikandung,
tak minta dilahirkan.
Saat sperma bertemu ovum, menjadi embrio, berkembang menjadi janin, lalu lahir sebagai bayi. Makhluk hidup baru ini tak tau apa2, ia lahir ke dunia baru, tak mengenal siapapun kecuali perasaan-perasaan ibunya, kecuali rekaman keadaan lingkungan saat ia di kandungan. Ia lahir dalam keadaan tak berdaya. Butuh cinta, butuh kasih, butuh pijakan, butuh bimbingan, butuh dibantu membuat pondasi yang kuat untuk kehidupannya kelak.
Sayangnya, tak semua orang membuat, mengandung, dan melahirkan anak dalam keadaan sehat dan penuh kesadaran.
Banyak dalam realita, dua manusia yang sama-sama rapuh menikah atas dasar tuntutan sosial dan berharap bisa saling mengisi satu sama lain tanpa mau membereskan dirinya terlebih dahulu (membereskan trauma-traumanya, menyembuhkan luka batinnya, membenahi mindsetnya, mengedukasi dirinya). Lalu luka batin, insecurity, kemarahan, kesedihan, kekecewaan, pikiran negatifnya ia tularkan ke anaknya tanpa sadar. Seperti seorang ayah yang waktu kecilnya suka dipukul, maka ia akan memukul anaknya saat ia frustasi, saat ego nya tersenggol, saat luka batinnya tersentuh. Ia akan menularkan itu, seperti pepatah hurting people hurt people. Begitupun seorang ibu yang dulunya merasa sedih, kesepian sesederhana pernah dimusuhin sodaranya waktu main saat masih kecil, ia akan memproyeksikan rasa sakitnya ke anak perempuannya (orang lebih muda memproyeksikan dirinya ke jenis kelamin yang sama) dengan membentuk anak perempuannya seperti dia, menjadi orang yang kesepian dan sendirian. Dengan mengabaikan kebutuhan emosional anaknya, gak memberikan empati, melarang anaknya bergaul, tidak boleh mengekspresikan emosi, sampai anaknya mirip dia, rusak dan rapuh.
Lalu sang anak rapuh penuh tularan luka batin orang tuanya, saat ia menjadi orang tua, ia pun akan menularkan luka batin tersebut terhadap anaknya, dan begitu terus dari generasi ke generasi.
Pertanyaannya,
Mau sampe kapan menularkan luka batin dan merusak anak keturunan?
itu anak cuma titipan loh, yang akan dimintai pertanggung jawabannya di akhirat nanti (kalau kamu percaya adanya akhirat dan Tuhan). itu anak punya purpose of life dan karakternya masing-masing loh, kenapa dirusak dan menjadi tak seharusnya?
Lalu, gimana cara mutusin rantai tersebut?
1. Jadilah aware.
Sebelum aware, perlu bergaul dan berada di beragam lingkungan biar bisa melihat dunia dari sudut pandang lain, biar bisa melihat beragam jenis manusia lain, biar bisa sadar sama pola dan skema-skema lain. Jadilah aware, sadar sama keadaan diri, sadar mana sifat asli, mana projection dari orang tua dan lingkungan, sadar sama masalah-masalah diri. Luangkan waktu untuk merenung dan berefleksi.
2. Penerimaan
Menerima segala kelebihan kekurangan diri, terima segala luka yang telah berlalu sebagai bagian diri, terima punya orang tua yang begitu, terima kalau diri adalah produk dari orang tua dan lingkungan dengan segala cacat yang ada. Menerima, tidak menyalahkan siapapun termasuk tidak menyalahkan diri sendiri. Lalu benahi satu persatu.
3. Self improvement.
Mulai lakukan apa yang menjadi kelebihan diri, jangan takut, jangan cemas. Mulai menjalani mimpi dan purpoe of life diri. Mulai hidup penuh kesadaran, mindfullness, dan enjoyment.
--------------
Kalau ibumu cerai dengan ayahmu lalu menularkan traumanya dengan bilang laki-laki brengsek hingga kamu anak perempuannya takut menikah, berarti ibuu sedang menularkan luka batinnya padamu. Kamu mau hidup waras sesuai realita, kembali padamu.
Kalau ayahmu pernah gagal, takut dinilai buruk. Lalu semua mimpi dan mentalmu dijatuhkan dengan kata-kata gagal sebelum memulai dikala kamu sangat berkompenten dan mampu, maka ayahmu sedang memproyeksikan ketakutan dirinya atas kegagalan terhadapmu.
Kalau ibumu pernah dikatain tak berharga oleh suaminya, hingga slef worth nya jatuh dan membekas jadi trauma, lalu ia melampiaskan rasa sakitnya dengan bilang kamu gak berharga, maka ibu mu sedang menjadikanmu samsak sampah luka batinnya. Kebayang gak jika ini terjadi saat sang anak masih kecil? hanya ibunya yg ada, lalu di cekokin label-label negatif seperti "kamu tidka berharga", maka ia akan memandang dirinya tak layak, tak berharga, pantas ditindas, pantas dikasari, pantas dapat perlakuan buruk, dan tak pantas bahagia. Padahal anak ini brilian, punya bakat menjadi leader, punya potensi menjadi sociopreneurs yang sukses yang mampu membangun satu negara bahkan lebih. Lalu ia hidup seperti sampah, membuang waktunya, menyia-nyiakan potensinya, hanya karena tidak ada satupun yang sadar dan menyadarkan diri aslinya, dan memberikan feedback positif, lingkungan dan orang pertama yg ia lihat di dunia (orang tuanya) selalu melabeli dirinya sampah tak berharga. Satu manusia rusak, satu generasi rusak.
----------------
Menikah tidaklah mudah.
Jangan menikah hanya karena umur, hanya karena tuntutan sosial, hanya karena kesepian, hanya karena berharap ada yang mengisi lubang kosong dalam diri.
Bagaimana orang yang rusak menarik orang yang utuh?
Bagaimana orang yang rusak bisa membenahi orang yg rusak?
Orang menarik orang sesuai frekuensi dirinya. JIka ingin mendapat pasangan waras dan utuh, jadilah waras dan utuh terlebih dahulu.
Memiliki anak tidaklah mudah.
Bukan sebatas urusan bisa hamil, bisa melahirkan, bisa bayar persalinan, bisa menafkahi, menyekolahkan.
Apakah diri sudah sehat dan siap bertanggung jawab?
Apakah diri sudah punya ilmunya dan terus mau belajar?
Apakah diri sudah siap lahir, batin, mental, psikis, spiritual, untuk merawat titipan Tuhan sesuai jati diri aslinya?
----------------
Sudah cukup segala kebodohan dan ego dalam perusakan keturunan dan generasi.
Sudah cukup rantai terikat, perlu diputus demi melahirkan jiwa-jiwa baru yang sehat.
Sudah cukup segala ilusi society menutupi realita.
Sudah waktunya untuk sadar, bebenah demi kehidupan yang lebih baik.
Mau sampai kapan hidup dalam kotak hitam hanya karena takut keluar padahal diluar jauh lebih bebas, luas, sehat.
Setiap pertumbuhan dan transformasi butuh ketidaknyamanan. Termasuk ketidaknyamanan saat melihat masa lalu, saat menerima segala luka diri, saat menerima kenyataan, saat berusaha tumbuh dengan sagala rintangan yang ada.
Jadilah manusia yang sadar.
No comments:
Post a Comment