Thursday, July 11, 2024

11/7/24

Saat seseorang memberikan kontribusi, sekalipun ada kejadian tidak nyaman, selama kontribusi yang ia berikan equal dari penderitaan yang dia hadirkan, maka kecenderungan santai akan lebih tinggi.

Jika kontribusi melebihi kesulitan dan ketidaknyamanan yang ia hadirkan, maka kecenderungan bersyukur lebih tinggi. 

Jika penderitaan dan masalah yang diberikan jauh lebih banyak daripada kontribusi kebaikan, maka berpotensi menghasilkan nelangsa dan suffering. 

Jika hanya penderitaan, masalah, dan kesulitan yang diberikan dan dihadirkan tanpa kontribusi kebaikan dan pengalaman menyenangkan, maka potensi munculnya anger, resentment, dan penderitaan akan sangat tinggi layaknya petasan yang tak berhenti hingga da kebutuhan yang terpenuhi. 

Kadang itu semua bukan tentang masalah penerimaan dan keikhlasan, namun ya memang kebutuhan dasar manusia akan kebutuhan. Jika selalu diambil, disedot, di exploitasi, tanpa pernah terisi apapun, maka hal defisit itu akan termanifestasikan pada kemarahan, penderitaan, kesakitan, kesedihan, kesulitan, ketidakbahagian, penuntutan, kegilaan, pembunuhan, atau bahkan bunuh diri. 

Jika ada yang kita ambil dari orang, alam, apapun itu, maka sebaiknya ada yang kita kontribusikan dan berikan juga sebagai bentuk rasa syukur, menghargai, menjaga keseimbangan, dan harmoni. Jangankan manusia, alam pun ika terus-terusan diambil, diexploitasi, tanpa pernah dirawat, diperhatikan kebutuhannya, dijaga keseimbangannya, maka akan marah dan meledak, entah dalam bentuk penipisan ozon, perubahan iklmi yang tak terpediksi, tsunami, banjir, pemansan global, dan lain sebagainya, yang akan memberikan dampak pada seiisi bumi lainnya termasuk hewan yang tak bersalah sekalipun.

Manusia yang kekurangan cinta, bisa tumbuh menjadi manusia tanpa empati dan belas kasih. Manusia yang selalu dikhianati, disakiti, ditolak, diasingkan, diamnfaatkan, dilecehkan, diabaikan, diperlakukan buruk, bisa tumbuh menjadi monster yang siap "membunuh" siapapun tanpa ampun atau justru membunuh dirinya sendiri karena merasa tak layak, tak bernilai, tak dianggap, dan tak berarti. 

Maka,
Jika ada yang kita ambil dari siapapun dan apapun, alangkah baiknya ada yang kita berikan dalam takaran yang minimal sama. Dan sejatinya apapun yang kita lakukan (baik, buruk) semuanya akan kembali pada diri. Entah saat ini, nanti, pada keturunan, di dunia, ataupun di akhirat. 

Seandainya kita menyadari bahwa diri kita sudah cukup dan Tuhan mencukupkan semuanya, tak perlua da ketamakan untuk selalu mengambil tanpa pernah mau memberi. Dan bagi para pemberi, sudah waktunya untuk belajar membuat batasan sejauh apa memberi dan kepada siapa. Karena tidak semua orang layak untuk diberi, ditolong, dibukakan pintu kasih. Pedulikan diri sendiri dahulu, karena banyaks ekali manusia-manusia yang hanya ingin mengambil di luaran sana tanpa peduli dampaknya pada orang lain. 

No comments:

Post a Comment