Hegemoni, Konformitas, Budaya Kolektif.
Banyka lingkungan dimana semua saling terlibat satu sama lain, ada kecenderungan sulit untuk membangun boundaries. Ada perasaan tak enak, alasan kedekatan, ketakutan dijauhi, ketakutan dibuang, ketakutan tak diterima, ketakutan dinilai, harus menjadi sama; harus mengikuti sekalipun tak mau, tak suka, dan tak relevant; termasuk setiap keputusan harus memikirkan banyak orang hingga kebutuhan dan kepentingan diri terabaikan.
Melihat manusia sebagai perpanjangan dari suatu daerah, lingkungan, keturunan, dan organisasi. Bukan manusia sebagai manusia. Sesederhana, dalam meilih sekolah, jurusan kuliah, bekerja, menikah, harus mempertimbangkan seluruh anggota keluarga, keluarga besar, organisasi, sampai satu kampung. Padahal urusannya cuma satu orang, semua hal yang terlibat dengan orang ini menjadi pertimbangan. Begitupun saat seseorang mengalami suatu kejadian yang dianggap melanggar norma (hamil di luar nikah/ kasus narkoba/ ketahuan selingkuh/ korupsi/ ketauan clubbing di luar negeri saat bulan puasa, misal), keluarga besar, tetangga, kantor, kampus, semuanya ikut terserat malu.
Pada akhirnya banyak sekali yang menggunakan topeng, menutupi jati dirinya, agar aman di mata public, jatohnya ya membohongi orang lain. Dan orang seneng-seneng aja dibohongi karena hanya mau melihat, mendengar, dan tahu apa yang dimau saja. Ada pula yang akhirnya menekan kebutuhannya, keinginannya, kepentingannya demi bisa diterima masyarakan dna lingkungan, membohongi dirinya sendiri berakhir meledak kedalam alias depresi.
Eh udahan deh ya, mau pergi dulu.
*Gak janji diterusin dan kapannya
No comments:
Post a Comment