Sadar ga?
Apapun yang orang lain lakukan, gak ada hubungannya sama diri.
Mau bahas tentang family (no offense ya. Disclaimer dulu).
--------
Orang tua abusif, harming, jahat, tak mampu mencintai, controling, manipulatif, apapun yang mereka lakukan pada anaknya, tidak ada hubungan sama sekali dengan anaknya. Mereka hanya memproyeksikan ketidaknyamanan pada dirinya sendiri, lukanya, expetasinya, judgementnya kepada anaknya. Misal, orang tua pernah dipukul pas nangsi waktu masih kecil. Saat ia memiliki anak, anaknya masih balita dan nangis, teringat trauma dirinya yang berakhir marah-marah dan memukul anaknya. Contoh lainnya, orang tua tidak mendapat cinta kasih seorang ibu, karena ibunya tak mendapat cinta kasih dari nenek sejak lahir, maka ia pun tak mengerti cara mencintai anak perempuannya, sehingga anak perempuannay cenderung terabaikan secara emosi. Atau orang tua memiliki cita-cita menjadi dokter, lalu gak kesampean, dan ia proyeksiin ke anak-anaknya harus jadi dokter sekalipun naaknya gak mau dna gak bahagia; jika melawan dan memilih pilihan lain, maka di abuse dengan menahan biaya kuliah dan biaya hidup.
Banyak sekali hal yang gak beres sebenarnya dalam relasi orang tua dan anak, termasuk dalam keluarga, jika mau disadari. Tidak semua lahir dari keluarga yang sehat, dinamika keluarga yang eling, dan dari pribadi-pribadi yang healed. Banyak yang menikah dikala belum membereskan masalah-masalahnya, belum melepaskan attachment terhadap keluarganya (termasuk attachment beban emosi, masalah, trauma, warisan trauma, belief, pola, dll); belum menjadi diri nya sendiri yang jejeg, secure, full autonomy yang menjalani realita aslinya dengan penuh tanggung jawab.
6 Tahun lalu di usia 20an, aku masih melihat laki-laki dari:
Agamanya, ibadanya (yg keliatan kan kuantitasnya aja), lulusan mana (masih sih sampe sekarang), pendidikan, pekerjaan, kekayaan, kepribadian, dan hal-hal yang masyarakat dan society pertimbangkan untuk menjadikan pendamping dan menikah.
Saat ini, yang aku minta dan liat lebih ke arah: kemampuan dan kapasitas untuk nurturing, nourishing, membebaskanku jadi diri sendiri, provide money, good sex, align, make me greater, co-creating, memiliki kemampuan untuk terus belajar dan bertumbuh, kind to my body and being. Yang bisa receiving and gifting, konsisten, saling gratitude, connected, trusted, respect. Di bayangan ku kaya 2 anak kecil happy joy yang energy nya bermain dalam menciptakan kehidupan dan saling mencintai penuh syukur dengan tetap membebaskan satu sama lain menjadi dirinya sendiri.
Eh kok bahasannya ajdi belok wkwk.
Ok balik ke topik tentang ortu. Ya intinya, saat ortu tak memberikan cinta tulus murni yang penuh kasih dan nurturing, bukan berarti kita tidak layak akan cinta. Namun ya ortu tersebut yang tak mampu mencintai, bukan karena tak sayang, tapi karena ia gak tahu gimana cara mencintai yang membuat anak merasa dicintai. Begitupun sata seorang orang tua sering memukul secara fisik, sering menganiaya secara emoosional dengan holding, guilty trip, shamming, bullying, silent treatment, dll. Ya bisa jadi cara yang ia tahu dalam mengkomunikasikan emosinya, dirinya, dan mendidik itu seperti itu. Bukan berarti si anak tak berharga sampe seolah-olah panats untuk dipukuli dan di abuse emotionally. Apalagi jika orang tuanya memiliki gangguan kepribadian atau jiwa, seperti depresi sehingga tidak "hadir" daam hidup anak, atau axniety dan manic marah meledak-ledak, kurangnya kemampuan coping yang sehat, ego nya fragile, pola pikirnya hitam putih, ocd, ya secara tidak langsung memang mempengaruhi swlf worth, self esteem, self confidence, dan sense of self si anak. Dimana itu semua secara tak langsung mempengaruhi kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraan si anak. Baik dari segi relasi dengan dirinya sendiri, dgn orang lain, dengan pekerjaan, dengan uang, dll.
Menariknya, dalam society ini, keberhasilan mendidik dilihat hanya sebatas lulusan mana, kerja dimana, material things yang dihasilkan, terlihat soleh, tau sopan santun, menikah, pny anak. Siapa dan seberapa banyak orang yang nanya atau nge cek "are u really happy?", "are u really know yourself?, "are u live in your reality?", "do u really know what do you want and your purpose?", "are u fully healed?", melihat dari level awarenessnya, level kedewasaannya (secara intelektual, mental, emosi, dan spiritual, holistic), kemampuan bertransformasinya, kemampuan visioner, kepribadian real nya, dsb nya?
Kalau mau dan berani melihat, banyak anak-anak yang dianggap sukses, pekerjaan ok, harta ok, pendidikan ok, sangat sopan nan santun, ternyata zina, korupsi, nyikut orang, dzolimin org lain, main pelet santet "membunuh" orang lain secara perlahan, dll. Hanay chasingnya tau sopan santun dengan tutur kata baik, emosi yang terjaga, dan bereprilaku yang dianggap baik (menyenangkan), hal-hal tersebut ta dilihat, tak dipercayai, bahkan dianggap tak ada. Realitanya, masyarakat dan society hanya mau melihat dan menerima hal-hal yang mereka mau lihat saja berdasarkan aturan yang berlaku. Apapun truthnya, kenyataannya, aslinya, bukan hal penting, yang penting tampilan luar dan yang ditampilkan sesuai aturan. Perhatiin deh....
Kembali lagi, tentang orang tua,
Intinya mau share, apapun yang mereka lakukan pada anaknya/ kita, sama sekali tidak ada hubungannya dengan diri. Jangna sampai kita masukan ke dalam diri terlalu dalam merusak dan menyakiti diri sendiri hingga menganggu keberfungsian diri, hak untuk bahagia dan tumbuh besar. Ya sederhananya, orang bahagia akan memancarkan kebahagian, orang yang sayang dirinya akan mampu menyayangi orang, orang yang naman dan secure dengan dirinya akan mampu bersikap baik jg terhadap orang lain. Begitupun dengan orang yang tak bahagia tanpa sadar ia akan menarik orang dalam ketidakbahagiannya. Orang yang tersakiti akan menyakiti. Orang yang luka akan melukai. Orang yang sembuh ya akan menyembuhkan tanpa menyakiti dirinya sendiri.
No comments:
Post a Comment