Thursday, October 19, 2023

Fantasi

Dunia Dalam Imajinasi, Menjual Mimpi, Meraup Untung.

Buku, film, serial, sinetron, cerita, sebuah komoditas bisnis dalam ranah menjual mimpi, mengisi kekosangan, kabur dari ketakutan, menutup mata dari realita diri. Dari kisah yang dibagikan, dikonsumsi, para penikmat (pembaca, penonton, pendengar) bebas mengembangkan imajinasinya masing-masing berdasarkan ekspetasi, proyeksi, hasrat, kebutuhan, fantasi, ilusi, delusi, dan kecanduannya. Sinetron orang susah mendadak kaya raya, menjual mimpi hasrat orang-orang yang ingin hidupnya berubah drastis. Adengan film yang memperlihatkan keluarga ideal, paras indah, harta berlimpah, mobil bagus, pasangan sempuran, menjual utopian ideal akan kehidupan yang bisa jadi tidak ada di dunia nyata ini. Cerita buku yang mengambarkan persahabatan abadi yang penuh kasih dan kesetiaan, memberika pandangan akan sebuah persahabatan seperti itu. Sekelipun di dunia nyata, banyak kemungkinan yang bisa terjadi atau bahkan terjadi, seperti pengkhianatan, manipulasi, dibohongi, dimanfaatkan, bahkan hanya digunakan sebagai kebutuhan untuk menaikan status sosial, pendukung karir dan bisnis. Tak sedikit yang berinvestasi pertemanan untuk kemudahan bisnis yang orientasinya keuntungan secara finansial. Kisah audio tentang kesedihan, tanpa sadar bisa membangkitkan imajinasi, adanya orang senasib, yang memahami, mengerti, atau malah mendramatisir keadaan nyata yang terjadi. Jika tidak berada dalam kondisi hadir utuh saat ini, menyadari mana dunia nyata dan bukan, hal tersebut bisa menyeret seseorang masuk ke dalam fantasi, ilusi, delusi, hingga obsesi. 

Selain komoditas diatas, perkembangn teknologi memberikan ruang kreasi yang lebih luas dalam ranah penjualan imajinasi. Dari mulai jasa VCS (video call sex), phonesex, teman curhat, teman ngobrol, teman bincang sebelum tidur, hingga jasa menemani sebagai pacar virtual dalam bentuk chat maupun telepon hanya dengan beberapa sentuhaan klik. Untuk jasa yang produknya berbentuk suara dan wajah, para pekerja tetap merasa aman akan indentitasnya sehingga tidak mempengaruhi kehidupan sehari-harinya dan orang-orang terdekatnya. 

Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan interaksi dengan manusia lain, rasa keterhubungan, dan intimasi. Tak lain salah satu antisipasi dari kesepian dan depresi, atau justru cara untuk keluar dari itu semua. Manusia memiliki kebutuhan untuk di dengar, berbicara, mendengar, bercerita, hubungan berkelanjutan, ditemani, menemani, dipahami, diterima, dan ruang berekspresi. Termasuk kebutuhan akan keterhubungan satu sama lain secara emosi, pikiran, fisik, spiritual. 

Untuk phonesex dan VCS (Video Call Sex), selain untuk membantu dalam penyaluran birahi lewat mastrubasi ditemani orang secara nyata lewat suara nyata maupun visual untuk membangkitkan imajinasi kesenangan. Jika dipikir, untuk apa VCS? bisa saja ditemani video porno atau film semi, namun jasa ini masih sangat marak. Bisa jadi orang ingin adanya hal nyata di waktu yang sama dengan orang yang memang benaran melakukan itu di tempat lain yang terhubung lewat video call, dengan kata lain orangnya benar ada. Selain itu mungkin bisa dipilih sesuai selera, sesuai permintaan, preferensi, dan hal lainnya yang lebih memuaskan. Tarifnya pun ternyata sangat terjangkau dibanding menggunakan jasa nyata secara fisik yang saling bertemu. Dari 2 jenis layanan yang menjajakan pemenuhan kebutuhan biologis sebagai pelepas birahi, stress, ataupun sebuah kecanduan, yang sebenarnya bisa dilakukan sendiri hanay dengan menggunakan imajinasi tanpa perlu stimuli dari orang lain dan membayar. Hal ini memperlihatkan adanya bergama faktor, entah kemampuan imajinasi orang yang berbeda-beda atau hal lainnya: ada yang kuat dan mampu sendiri; ada yang butuh di stimuli langsung secara visual, suara, ataupun keduanya; ada yang butuh ditemani secara nyata selama prosesnya, ketakutan zina jika dilakukan langsung, masalah biaya, rasa kesepian yang begitu pekat, dan perhitungan lainnya. Itu semua yang dijual adalah imajinasi, fantasi, ilusi, delusi. Karena pembeli jasa tak kenal apapun secara nyata dengan memberikan jasa. Mereka bebas membangun kisah, imajinasi, cerita yang saling dikembangkan untuk tujuan kepuasan diri. Dari mata dan telingga, di proses di kepala, terealisasikan lewat tubuh dan genital. 

Untuk teman ngobrol, teman bicara, teman curhat. Sekilas terkesan miris, masa iya ada orang yang sesedih itu, se kesepian itu, sesendirian itu. Realitanya ada, dan banyak. Jikapun ada yang memiliki teman, belum tentu temannya bisa diajak ngobrol, curhat, bicara di momen yang sangat dibutuhkan. Jikapun ada, belum tentu bisa menemani sesuai kebutuhan, karena teman memiliki prioritas dan urusan lainnya. Apalagi saat usia sudah 20 tahun ke atas, dimana secara psikososial dalam tahap membangun intimasi, merantau sendirian ke tempat asing, teman-temas sudah berpasangan, waktu dan biaya bersosialisasi kurang, tahapan psikososial tersebut menjadi sangat berat. Sehingga kebutuhan akan layanan ini pun semakin meningkat, apalagi bayar, setidaknya orang yang dibayar punya tujuan memuaskan dan menyenangkan pembeli. Kalau ngobrol dengan orang lain secara nyata, mereka tidak ada tanggung jawab itu, mereka bisa respon susak hatinya, dan belum tentu responnya baik, bisa jadi malah jadi debat, konflik, atau pengalaman tak menyenangkan hati. Ya teman ngobrol ini sebenarnya sudah ada dari lama. Di tahun 90an ada sahabat pena, lewat internert ada MIRC, kemudian 2000an ada yahoo messanger yang populer. Orang bisa terhubung dengan siapa aja, mengobrol, bercerita, curhat, dan dua arah. Bedanya kita terhubung secara alami karena tidak ada yang dibayar dan membayar. 

Jasa-jasa tersebut dianggap aman, jika dibandingkan dengan aplikasi kencan. 

No comments:

Post a Comment