Idealnya keluarga adalah tempat ternyaman yang menerima diri apa adanya, yang selalu memberi dukungan, cinta tanpa syarat; yang saling melindungi, menjaga, menyayangi, mengayomi, menutrisi, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Mungkin itu hanya ilusi delusi fantasi dongeng atau hanya sebagian keluarga yang memang berfungsi dengan baik. Realitanya, ada keluarga yang saling bersaing satu sama lain, yang saling membicarakan dan menjatuh satu sama lain, yang saling iri, yang saling menyakiti, yang saling tidak peduli. Bisa di generasi atasnya yang saling bersaing, bisa di generasi bawahnya sepupuh yang saling iri, bisa terjadi di semua generasi yang di dasar hatinya lebih mementingkan teman dan dirinya sendiri, keliuarga dianggap formalitas dan jauh dari nurturing maupun nourishing. Ada pula keluarga yang justru memberikan banyak trauma, membuli, humiliation, shamming, betrayed, abused (secara emosi amupun fisik), pilih kasih, penuh dengan judgement, saling berkomplot untuk menyakiti, mengucilkan anggota keluarga lain.
Pada akhirnya, keluarga itu ya hanya sebuah status, karea memiliki darah yang sama yang mengalir dalam tubuh. Sebatas itu. Dan beelum tentu darah lebih kental dari air. Jika pun ia, apa maknanya?
Kita bisa membangun keluarga sendiri, memilih orang-oramg yang memilih kita juga, yang mutual, yang baik, yang sama-sama merawat dan menutrisi untuk tumbuh bebas, tinggi, bermekaran, yang menerima diri tanpa penilaian apapun, yang memberikan ruang tumbuh tanpa dogma-dogma dan keharusan yang membatasi. Jika belum bisa menemuka orang-orang itu, kita bisa mulai dengan diri sendiri bersama diri.
Jika kita terjebak dengan pemikiran keluarga adalah sesuatu yang harus dilindungi, dijaga, diprioritaskan, tempat terbaik untuk pulang, yang menerima kita, yang mencintai kita tidak lebih dari siapapun. Saat itu semua tidak terjadi, saat kita lahir dari keluarga dan keluarga besar yang disfungsi, maka kita akan gilak. Menunggu orang menerima kita dikala mereka tidak mau menerima; menunggu dicintai tanpa syarat, dimana mereka tidak mau dan mampu melakukannya; menunggu diterima apa adanya dikala mereka penuh judgement yang tak memberdayakan; menunggu untuk dapat terbang saat hubungan dengan keluarga baik nan nurturing, dikala merawat pun mereka tidak mau apalagi menutrisi jiwa kita. Jadi untuk apa? Mungkin lebih baik melihat apa sebagaimana apa adanya. Seperti merah sebagai merah, biru sebagai biru.
Jika kebutuhan kita tak terpenuhi, tinggalkan.
No comments:
Post a Comment