Thursday, October 27, 2016

Siang di Kampus

Setiap masuk ke kelas lebih awal dari jam istirahat berakhir, saya sering menemukan banyak mahasiswa tingkat awal yang diam di kelas. Mereka masih mengerjakan tugas dengan mulut mengunyah, ada beberapa yang sedang makan bekalnya. Kadang, hati terenyuh.

Mereka memiliki latar belakang berbeda. Ada yang dari keluarga kaya raya, ada yang menengah. Terlepas dari itu semua, ada spirit orang tuanya, sebuah harapan menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Tak semata-mata untuk dapat bekerja dan berkehidupan jauh lebih baik, namun untuk meningkatkan harga diri anaknya sendiri dengan menjadi orang yang berilmu dan belajar mandiri.

Bagi saya, menjadi pengajar, bukan sebuah pekerjaan untuk menyambung hidup. Dimana saya bekerja secara profesional lalu digaji, dan berulang seperti itu. Di dasar hati terdalam, i really really care about the next generation, about our future (yes, i say our because we are all human who live in the same of universe, aren't we?). Bukan sebatas misi mengajarkan hal teknis dan menyampaikan ilmu, ada misi lain dibalik itu. Misi menciptakan generasi yang jujur (jujur menjadi diri sendiri, jujur dengan passion diri, jujur dengan menjadi baik), disiplin, dan punya kepekaan dan hasrat membangun yg besar terhadap sekitar.

Secara realistis, sulit untuk mengubah sistem pendidikan (jika para pembuat keputusan bukan orang2 peka, cerdas, dan holistik), apalagi goar-goar menghargai seorang pendidik. Kalau mau cari uang, ya jangan jadikan dosen/ pendidik sebagai profesi. Sampai detik ini, gaji sebagai pengajar hanya cukup untuk makan (perumpamaannya). Selebihnya tetap menjadi desainer interior sebagai profesi untuk menafkahi segala kebutuhan diri sendiri. Masalah waktu, ya pintar-pintarnya saja mengatur waktu. Asal tujuannya jelas dan efisien. Jangan sampai ada aturan ke kampus cuma untuk absen tanpa urgensi yang jelas, buang-buang waktu, tenaga, biaya, PP nya (incase aja, di tempat saya ngajar sih gak kaya gitu). Jangan pula sibuk proyekan tapi ninggalin mahasiswa. Ini sih yang harus diperhatikan bagi para pembuat kebijakan. Jika mengikat seseorang, harus diimbangi dengan kesejahteraan sebanding dengan waktu dan dedikasi yang orang tersebut berikan.

Semoga setiap bulir keringat para orang tua untuk anaknya tak sia-sia. Semoga kita, para pendidik tetap memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap penerus bangsa bukan hanya sekedar bekerja. 

Kadang, suka pengen deh membentuk mahasiswa sampai titik dia gak punya pilihan lain selain harus disiplin, bekerja keras, dan independent. Membentuk karakternya. Cuma ya apalah daya terbentur sistem. Sejauh ini dalam pengamatan saya (tidak semuanya sih, hanya pengamatan dari beberapa sample. Sebuah hipotesa), Pendidikan sudah masuk ranah bisnis, income dan outcome diperhitungkan dengan detail. Kalau disekolah swasta tak bisa sekeras seperti di sekolahan negeri. Sekolah negeri favorit sih bisa begitu karena orang yang masuknya sudah sangat tersaring dan digaji oleh pemerintah. Kalau swasta? Keras begitu, mahasiswa bisa pada kabur, parahnya mungkin dituntut.


No comments:

Post a Comment