Sore sendu di Jogja di dalam taxi alphard putih yang dikemudikan seorang perempuan baik menghantarkan kami yang was-was akan argonya, ke bandara. Malam mengantikan sore yang semakin sendu dengan hujan yang membuat semua pesawat delay. Kami duduk di lantai bersandar pada etalase toko. Suasana bagaikan tempat pengungsian, tak ada kursi kosong, bahkan lantai pun dipenuhi calon penumpang dari semua maskapai.
Teman membuka pembicaraan tak terduga yang sebelumnya (pasti) sudah dipikirkannya dalam observasi dan dilontarkan dengan hati-hati.
" kak utie, deket ga sama ibu-ibu penjaga kosan?"
" kenapa emang?"
" tadi dia bilang kak utie sombong, katanya dipanggil-panggil gak nyaut. cuma keselnya kaya udah lama deh bukan karena tadi sore'"
" dia manggil pas aku lagi solat, jadi gak nyaut. yaudahlah berarti suudzonnya dia aja mikirnya gt."
" gimana kalau nanti di akhirat ditanya kenapa kamu sombong?"
" itu sombong asumsi dianya aja. gmn kalo nanti di akhirat, justru dia yang ditanya kenapa suudzon? eh tp harusnya gw konfirmasi ya kenapanya. salah berarti gw."
" iya, harusnya konfirmasi td gak nyaut kenapa."
Sepenggal obrolan singkat yang mengingatkan tetang pentingnya sebuah konfirmasi.
Dalam hidup, kita bersinggungan dengan segala jenis manusia untuk berbagai hal urusan duniawi yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti. Seringkali, manusia melihat dari sisi dirinya saja saat ada orang lain yang suudzon dengan sikapnya. misal, ada seseorang yang tiba-tiba menjauh karena sakit hati dengan sikap seseorang lainnya, lalu dia membutuhkan ruang untuk menetralkan perasaannya. Tapi yang terjadi adalah, semua berkomentar "kenapa sih si itu tiba-tiba menjauh, udah gak mau temenan lagi sama kita, blablabla" lalu asumsi public pun menyebar dengan cepat membentuk sebuah subjektivitas yang sulit diubah. Apa pernah salah satu dari mereka memberikan ruang untuk bertanya atau sekedar mendengarkan alasan? tidak. tidak ada konfirmasi. Bahkan saat ingin mengkonfirmasi, semua dilupakan sebagai yang telah lalu tanpa menyadari ke- suudzonan-annya membekas dalam pada diri orang lain. Saat kembali, semua tak lagi sama, bahkan menjadi lebih buruk dan menyakitkan. Kemudian jeda berubah menajdi akhir.
Adapula yang dengan egoisnya menolak konfirmasi orang lain dan tak mau mengkonfirmasi atas sikapnya yang menjadi tanda tanya bagi yang lain. Meskipun tak semua tanda tanya harus terjawab. Lalu menyalahkan orang lain dengan perkataan yang menambah sakit. "lebay banget respon lo, suudzonnya lo aja". sebuah statment judgemental yang tak menyelesaikan apapun, tak menjelaskan apapun, dan berhasil membuat orang lain mengelar jarak yang jauh dengan benteng yang dibuat semakin tinggi.
Kita, diperintahkan untuk menjauhi prasangka, namun saat orang lain mulai berprasangka, ada baiknya dengan bijak kita pun mengkonfirmasi kenapa nya guna mengurangi orang lain untuk berprasangka. Bukan agar nama diri baik, bukan, tapi karena rasa sayang terhadap sesama, termasuk sayang pada amalan buruk yang terjadi pada manusia lain yang distimuli oleh diri kita.
Semoga kita selalu dipertemukan dengan orang-orang baik dengan rasa kasih yang besar untuk saling melindungi, menjaga, mengingatkan, dan menyayangi.
*wuallahualam bishawab.
Ramadhan #13
No comments:
Post a Comment