Suatu hari, saya melihat postingan adik di media sosial bahwa dia habis berziarah ke makan temannya yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Ada rasa "iri" meletup di dada, bergumam dalam hati "apakah selepas saya meninggal, adakah teman yg mendoakan bahkan berziarah ke kuburan saya setiap tahunnya?", lalu muncul pertanyaan lain: "apakah saat ini, semasa saya hidup, adakah temang yg mendoakan selepas ia solat ataupun dikala malam?"
Saya pun teringat seorang sahabat semasa sma, entahlah bagaimana ceritanya kami menjadi teman, dia tidak pernah mengajak, tapi dari dirinya saya terinspirasi dan terbiasa untuk shalat dhuha di jam istirahat pertama (jd saya sekolah dr jam 7pagi- 4sore, jd istirahatnya 2 kali), shalat dzuhur tepat waktu, shalat ashar selepas sekolah, saling mengingatkan untuk tahajud hampir tiap hari, puasa senin kamis, ya SMA, masa dimana jiwa tergenggam dalam damai, masa dimana ibadah menjadi sebuah kebutuhan layaknya air dikala haus. Dia pun sering mengingatkan saat saya sedang berbuat/ bersikap kurang baik dengan cara yang tak sedikit pun menyingung apalagi membuat kesal dan saling menutup aib (bagaimanapun manusia tidak luput dari dosa dan keburukan, hanya kadarnya saja yang berbeda). Meski sudah tak pernah bertemu dan komunikasi dikarenakan kesibukan dia sebagai ibu dan istri yang tinggal jauh, dan entah saya dianggap sahabat/ hanya sekedar teman biasa, dia tetap sahabat yang saya doakan, semoga kita bertemu di surga-Nya ya... aamiin.
Saya rindu, kesederhanaan dalam segala hal, percakapan yang dalam, kepedulian yang tulus, pertemanan yang terus dijaga meski jarak waktu yang jauh, rasa sayang satu sama lain karena Allah, dan sama2 berjalan mengharap surga-Nya.
Jaman sekarang, saya tidak tahu bisa menemukan teman seperti itu dimana. kadang lelah dengan perubahan jaman yang semakin self-oriented dan individu, care dibilang kepo, baik malah dimanfaatin, orang2 dekat cuma krn butuh dan melihat potensi diri kita yang bisa menguntungkannya, mengingatkan dibilang sok bener, me-warning malah di suudzonin, berusaha menjalin hubungan yang dalam malah terus dibentengin, jujur malah dijauhi, kepekaan sosial dan empati yang semakin menurun. "gw ga peduli kalo ga ada urusannya ma gw", kalimat yang terlontar dr seorang teman kantor semasa kerja di ibu kota, dikala saya cerita ttg ada orang keserempet bajay sampe jatoh, kasian, dlm perjalanan saya ke kantor.
Ya, semakin tua, semakin banyak lingkungan sosial yang disingahi, semakin banyak orang yang ditemui, (anehnya) semakin sedikit teman yang kita miliki, atau justru tak ada satupun yang sebenar-benarnya teman? entanlah.
Malam ini, dikala hendak tidur, ada beberapa nama yang terbesit dalam doa, dan malah jadi teringat banyak hal. Saya rindu, rindu akan kehausan dalam menjalani ibadah, rindu menjalin hubungan yang dalam dengan hamba2-Nya yang shaleh.
*wuallahualam bishawab
“ Dan ingatlah ketika orang-orang zalim menggigit kedua tanganya seraya berkata : “Aduhai kiranya aku dulu mengambil jalan bersama Rasul. Kecelakaan besar bagiku. Kiranya dulu aku tidak mengambil fulan sebagai teman akrabku. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Qur’an sesudah Al Qur’an itu datang kepadaku. Dan setan itu tidak mau menolong manusia” (Al Furqan:27-29)
“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)
No comments:
Post a Comment