Barusan, siang, saya ke SD dekat kosan untuk jajan, jatuhlah pilihan pada seblak, diantara para pedagang laki-laki, penjual seblak ini seorang perempuan, seorang ibu. Tiba-tiba hati tersentuh kesal, “Kemana sih para lelaki nya?? ngebiarin perempuannya jualan panas-panas dengan satu porsi seblak yang banyak itu seharga 2000-3000, yang tandanya keuntungannya sangatlah minim.”
Saya yakin, para perempuan yang bekerja dibawah teriknya matahri, menggunakan tenaganya untuk menopang benda-benda berat, di tengah kota, di tengah mesin-mesin, di tengah pengeboran tambang, ditengah sungai sambil mengendong anaknya, mereka perempuan yang bekerja mencari nafkah, untuk makan, bayar kontrakan dan berusaha menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah negeri yang masih ramah biaya dan subsidi terhadap mereka. Mereka bukan perempuan yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan sekunder, tersier, bahkan bukan pengejar harta tahta karir.
Dear para lelaki, memang masa sekarang emansipasi wanita berkoar-koar dimana-mana. Bukan berarti kerja keras kalian bisa kendor, bukan berarti kalian bisa menaruh harapan pada perempuan kalian untuk bisa membantu kalian, dan bukan berarti kalian bisa mengantungkan diri pada mereka. Lakukan yang terbaik, bekerja cerdas dan keras, jangan kasih kendor semangatmu, berusaha semaksimal mungkin agar para perempuanmu tidak ikut terjun mencari nafkah, meski dalam sikon tertentu hal itu bisa terjadi, anggaplah mereka membantu bukan untuk membagi tugas nafkah, dan yang namanya membantu tidak selamanya bukan?
Untuk anak yang memiliki ibu yang bekerja, lihatlah ibu kalian yang sudah susah payah mengandung, melahirkan, menyusui, mengurus, menjaga bahkan mencari nafkah untuk kalian.
Sebagai seorang anak perempuan yang tumbuh dari orang tua yang dua-duanya bekerja, kadang saya kasihan lihat ibu yang sudah bangun dari jam 3 pagi, tahajud, beberes, masak, jam 6 pagi sudah berangkat kerja, pulang ke rumah malam, weekend istirahat membuat saya dan adik laki-laki tidak pernah sembarangan pake uang orang tua, dan bertanggung jawab terhadap hidup masing- masing. Sebagai seseorang dengan keluarga besar yang hampir semua perempuannya bekerja, entah untuk kemandirian, membantu nafkah keluarganya, atau bahkan mengeluarkan potensi diri untuk karir, dan motivasi-motivasi lainnya. Ada kalanya disuatu masa, saya melihat kesenjangan. Para perempuan single yang mandiri kadang enggan ikut suaminya keluar kota karena tidak ingin melepas pekerjaannya. Para perempuan yang berbagi tugas nafkah dalam keluarga, kadang terlalu cape hingga timbul percecokan. Para perempuan yang bekerja mengejar ambisi, kadang harus merelakan hal-hal lain dalam hidupnya hilang. Hal-hal ini yang bikin saya lebih memilih untuk jadi ibu yang mengurus anak dan bekerja fleksible dalam usaha sendiri untuk mengembangkan diri dan biar punya tabungan sendiri untuk digunakan dalam beberapa sikon tertentu. Perempuan mandiri itu wajib, tapi jangan mau "dijajah" laki-laki atas nama emansipasi dan “alasan” desakan hidup, apalagi kalau cuma mengejar karir, tahta, harta :p
Ya sebenernya ini sih tergantung deal-deal an suami istri dan situasu kondisinya.
No comments:
Post a Comment